BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 10 Desember 2011

Mengkritisi wajib Belajar 12 Tahun

Pemerintah belum lama ini menggulirkan gagasan wajib belajar 12 tahun. Tujuannya adalah untuk menekan angka putus sekolah. Tujuan ini baik, namun yang menjadi persoalan adalah apakah hal ini menjawab kebutuhan bangsa?



Saya berangkat dari dua asumsi. Pertama, pendidikan bukanlah sekedar proses untuk meraih gelar atau selembar ijasah semata. Pendidikan merupakan proses pengembangan manusia sehingga ia mengalami peningkatan kemampuan dalam hal pemecahan masalah (problem-solving). Kedua, pendidikan di negeri ini ada di bawah “kuasa” kantor kementrian dan kementrian merupakan bagian dari pemerintah.


Dari pencarian singkat yang saya lakukan di internet, Mendiknas mengatakan bahwa tujuan wajib belajar 12 tahun adalah untuk mengurangi angka putus sekolah. Kok sedemikian sepelenya tujuan program ini. Hanya sekedar supaya anak bisa lulus SLA. Seberapa kualitasnya terserah, yang penting lulus SLA. Mungkin pemerintah berkilah bahwa soal kualitas bisa dikembangkan sambil jalan. Lha yang 9 tahun saja masih ada perdebatan mengenai kualitas UN, kok sudah mau nambah menjadi 12 tahun.

Saya melihat bahwa seharusnya ada kesejalanan antara tujuan pembangunan dengan program dinas pendidikan, karena dinas pendidikanlah yang menyiapkan para kaum muda. Tujuan berdirinya negeri ini adalah untuk mensejahterakan warganya. Salah satu faktor kesejahteraan manusia adalah kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri, atau secara sempit dikatakan sebagai faktor pendapatan. Namun kita menghadapi kenyataan bahwa tingkat pengangguran di negeri ini cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan bahwa lebih mudah dan lebih cepat menciptakan sarjana S1 dari pada menciptakan lapangan kerja baru.

Pencangan Wajib Belajar 12 Tahun

Di sisi lain, pola pikir masyarakat kita adalah bahwa setelah selesai sekolah, seseorang akan bekerja pada sebuah instansi, berpakaian rapi, berangkat pagi, pulang sore dan menerima penghasilan tetap bulanan. Dan jika kita temukan dua hal ini, maka tidak akan pernah bisa secara tepat bertemu. Siswa bersekolah, kemudian mendapat ijasah, selesai. Dinas pendidikan sudah tak berurusan dengan mereka. Para lulusan sekolah ini lantas mau apa? Melamar pekerjaan swasta, lowongan 1 orang yang memasukkan lamaran 50 atau 100 orang. Apalagi lowongan PNS. Akhirnya mereka hanya bisa membawa lamaran dari satu lowongan ke lowongan yang lain.

Kalau menurut saya, program wajib belajar 9 tahun itu dimatangkan dahulu. Okelah semua lulusan SMP itu diasumsikan akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena mereka masih terlalu muda untuk bekerja. Tapi dari SMP perlu ada bekal khusus bagi mereka yang nantinya selepas SMA/SMK akan bekerja. Sehingga mereka tak salah pilih. Kalau yang terjadi sekarang ini adalah SMK non unggulan biasanya menjadi tempat pelarian bagi mereka yang tak diterima di SMA.

0 komentar: